Posted by Tips ,Trick & Fakta Unik
Pemerintah menilai kesuksesan menaikkan harga Bahan Bakar Minyak
(BBM) bersubsidi tahun lalu telah memperbaiki kondisi ekonomi Indonesia.
Indikatornya antara lain defisit transaksi perdagangan yang berkurang
sampai masuknya investasi asing karena investor mulai percaya pada
fundamental ekonomi Indonesia.
Euforia hasil positif dari kenaikan harga BBM subsidi ini membuat
pemerintah tak menutup kemungkinan untuk menaikkan kembali harga BBM.
Apalagi, mulai membaiknya kondisi perekonomian dunia membuat Indonesia
harus bekerja keras agar tidak terjadi capital outflow atau arus dana
asing keluar dari Tanah Air.
Pasalnya, investor menjadi tumpuan pemerintah dalam membiayai
pembangunan. Uang negara dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
(APBN) tidak cukup untuk mendukung kemajuan bangsa. Di tambah kasus
korupsi membuat dana pembangunan dari APBN rawan tergerus.
Maka dari itu, pemerintah melalui Kementerian Koordinator
Perekonomian menyatakan terus fokus pada penyehatan fiskal anggaran
belanja 2014. Salah satu yang menjadi perhatian pemerintah saat ini
adalah membengkaknya alokasi subsidi BBM.
Bank Dunia menilai target pemerintah untuk mencapai defisit APBN di
kisaran 2,5 persen sulit dicapai. Sekalipun ada rencana mengajukan APBN
Perubahan, disertai pemangkasan belanja rutin di beberapa pos, langkah
yang lebih tepat disebut-sebut ialah menaikkan harga BBM bersubsidi.
Hal itu disampaikan Ekonom Utama dan Manajer Sektor Bank Dunia
Indonesia Jim Brumby dalam pemaparan laporan triwulanan lembaga ini di
Jakarta.
Bank Dunia membuat tiga skenario terkait kenaikan harga BBM. Pertama,
jika harga bahan bakar tidak naik sama sekali, beban subsidi akan
tembus Rp 300 triliun. Alhasil defisit APBN tembus 2,6 persen, di atas
target pemerintah.
Skenario kedua, harga dinaikkan 15 persen, dan tekanan pada anggaran
berkurang separuh. Defisit menjadi 2,1 persen, penghematan anggaran
mencapai Rp 45 triliun.
Skenario ketiga, harga naik 50 persen, artinya premium menjadi Rp
8.500 per liter, maka defisit APBN bisa ditekan hingga hanya 1,9 persen
saja. Jim mengatakan, lewat skenario paling radikal ini anggaran yang
bisa dialihkan untuk belanja lain mencapai Rp 68 triliun.
Berikut merdeka.com mencoba merangkum apa saja indikasi kenaikan harga BBM subsidi (Sumber):
1. Dana subsidi membengkak
Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kementerian Keuangan menyiapkan skenario
baru asumsi makro pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan
(APBN-P). Lantaran masih berpegang pada skenario pelemahan kurs, BKF
pun mempersiapkan ancang-ancang mengubah besaran subsidi Bahan Bakar
Minyak (BBM) di APBN-P.
Saat ini, pihaknya masih terus menghitung berapa persen kenaikan
subsidi premium dan solar di anggaran negara. Soalnya, ada faktor lain
yang bisa mengurangi beban, misalnya pemanfaatan biodiesel 10 persen
serta tren konsumsi harian yang tak terlalu berbeda dari tahun lalu.
“Otomatis kalau Rupiahnya melemah, subsidi BBM akan naik ya. Paling
tidak itu lebih dari yang dianggarkan,” kata Pelaksana Tugas Kepala BKF
Andin Hadiyanto.
Tahun ini APBN menganggarkan subsidi BBM sebesar Rp 210,73 triliun.
Akan tetapi, dari data SKK Migas dan Komisi XI DPR, penurunan potensi
lifting migas serta pelemahan Rupiah, sudah diramalkan akan membuat pagu
subsidi membengkak Rp 40 triliun.
2. Harga minyak dunia meningkat
Tren kenaikan harga minyak dunia mulai menyita perhatian pemerintah
pusat. Menteri Koordinator bidang Perekonomian, Hatta Rajasa mengaku
mulai khawatir dan waspada dengan tren kenaikan harga minyak dunia.
Hatta menjelaskan, harga minyak dunia tiba-tiba naik dipengaruhi aksi spekulasi. Kenaikan juga bisa mengancam struktur APBN.
“Secara fundamental tidak akan ada kenaikan. Kita melihat pertumbuhan
ekonomi dunia seperti China, India secara suplai tidak ada yang
mengakibatkan harga naik tinggi. Kenaikan ini dipengaruhi
spekulasi-spekulasi. Kita harus waspadai,” ucap Hatta di Hotel
Borobudur, Jakarta.
Naiknya harga minyak dunia juga bisa diperburuk dengan menurunnya
tingkat lifting minyak yang diprediksi tidak akan mencapai target.
Mantan Menteri Perhubungan meyakini, pemerintah sanggup mengelola
subsidi BBM agar tidak melebihi kuota yang telah ditetapkan. Hatta tidak
ingin ancaman kenaikan harga minyak dan jebolnya kuota BBM, membuat
beban subsidi membengkak.
3. Konsumsi BBM terus melonjak
Menko Perekonomian, Hatta Rajasa, menilai kisaran harga minyak dunia
saat ini masih sesuai dengan yang diperkirakan pemerintah. Namun, volume
pemakaian BBM subsidi memang harus dijaga ketat.
“Kami memikirkan itu kita dibatasi. Karena, kalau defisit tidak
mungkin melebihi 3 persen. Seperti apa tunggu saja. Kita akan menjaga
fiskal kita,” tegasnya.
Namun, dengan membludaknya konsumsi, apakah harga BBM subsidi akan
kembali naik? Hatta enggan menjawab ini dengan tegas. Hatta hanya
mengatakan saat ini belum ada rencana kenaikan harga BBM subsidi.
“Sampai saat ini belum ada pembicaraan. Saya tidak ingin bicara ada
atau tidak ada kenaikan. Jangan katakan ada kenaikan atau tidak ada
kenaikan. Sampai saat ini belum ada rencana kenaikan,” tutupnya.
4. Kenaikan harga BBM lebih efektif
Bank Indonesia (BI), sebagai salah satu regulator ekonomi Indonesia,
menilai reformasi struktural dalam bentuk kebijakan pengurangan subsidi
bahan bakar minyak (BBM) lebih efektif ketimbang paket kebijakan fiskal
lainnya. Pernyataan ini merespon pandangan Bank Dunia yang menyarankan
untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) menjadi Rp 8.500 per
liter.
Menurut BI, pengurangan subsidi dengan cara kenaikan BBM dilakukan
untuk menyehatkan fiskal dan terhindar dari defisit neraca transaksi
berjalan. Menanggapi hal itu, Gubernur BI Agus Martowardojo menjelaskan,
pada dasarnya Indonesia sudah secara intensif melaksanakan reformasi
struktural. Paling tidak sejak lima tahun terakhir.
“Pada 2013, ketika dilakukan pengurangan subsidi BBM, itu adalah
contoh reformasi struktural yang kuat. Yang lebih kuat daripada
penerapan bea keluar atau penerapan bea masuk tambahan bagi barang
mewah,” ujarnya di Gedung BI, Jakarta.
Tapi diakuinya, upaya reformasi tersebut belum cukup kuat dan efektif
membendung dampak buruk dari ketidakpastian ekonomi global.
“Itu terlihat dari kebijakan quantitative easing (Federal Reserve
AS), ketika sudah dilakukan pengurangan stimulus (tapering-off) itu,
ternyata dampaknya cukup besar kepada Indonesia dan Indonesia harus
mengakui reformasi struktural kita belum cukup cepat,” jelas dia.
Agus menyebutkan, pemerintah masih perlu meningkatkan efektivitas
paket kebijakan fiskal yang dikeluarkan pada Agustus dan Desember tahun
lalu. Sehingga langkah tersebut diharapkan mampu membuat perekonomian
domestik memiliki daya tahan yang kuat dan berkesinambungan.
“Jika dibandingkan dengan bentuk-bentuk kebijakan fiskal lainnya,
reformasi struktural terkait dengan pengurangan subsidi BBM akan lebih
efektif meredam dampak negatif tapering The Fed terhadap perekonomian
nasional,” paparnya.
Kendati demikian, penerapan kebijakan menaikkan harga BBM perlu
dibahas di tingkat Kementerian Keuangan, karena berkaitan dengan
kesehatan fiskal.